DAERAH ISTIMEWA YOGJAKARTA
( DIY )
1. Suku Bangsa
Kota Yogyakarta adalah salah satu kota besar di Pulau Jawa
yang merupakan ibukota dan pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sekaligus
tempat kedudukan bagi Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualam. Salah satu kecamatan di
Yogyakarta, yaitu Kotagede pernah menjadi pusat Kesultanan Mataram antara 1575-1640. Keraton (Istana)
yang masih berfungsi dalam arti yang sesungguhnya adalah Karaton Ngayogyakarta
dan Puro Pakualaman, yang merupakan pecahan dari Mataram.
Daerah Istimewa setingkat Provinsi di Indonesia yang meliputi [Negara] Kesultanan
Yogyakarta dan [Negara] Kadipaten
Paku Alaman.
Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa
bagian tengah dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia. Daerah Istimewa yang memiliki luas 3.185,80 km2
ini terdiri atas satu kota dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi 78
kecamatan dan 438 desa/kelurahan. Menurut sensus penduduk 2010 memiliki jumlah
penduduk 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki dan 1.746.986
perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2[5].
Tugu Pal Putih, salah satu landmark tertua yang menandai tata ruang DIY,
Gunung Merapi-Tugu-Keraton-Panggung Krapyak-Laut selatan Kondisi bentang alam
DIY yang beragam dan aspek filosofi kebudayaan mempengaruhi pengembangan tata
ruang/wilayah dan pembangunan infrastruktur di DIY.
Penyebutan nomenklatur Daerah
Istimewa Yogyakarta yang terlalu panjang menyebabkan sering terjadinya
penyingkatan nomenkaltur menjadi DI Yogyakarta atau DIY. Daerah Istimewa ini
sering diidentikkan dengan kota Yogyakarta
sehingga secara kurang tepat disebut dengan Jogja, Yogya, Yogyakarta,
Jogjakarta. Walaupun memiliki luas terkecil kedua setelah Provinsi DKI Jakarta,
Daerah Istimewa
ini terkenal di tingkat nasional dan internasional. Daerah Istimewa Yogyakarta
menjadi tempat tujuan wisata andalan setelah Provinsi Bali.
Selain itu Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi daerah terparah akibat bencana gempa pada tanggal
27 Mei 2006 dan erupsi Gunung Merapi pada medio
Oktober-November 2010.
Nama Yogyakarta terambil dari dua
kata, yaitu Ayogya yang berarti
"kedamaian" (atau tanpa perang, a "tidak", yogya
merujuk pada yodya atau yudha, yang berarti
"perang"), dan Karta
yang berarti "baik". Tapak keraton
Yogyakarta sendiri menurut babad
(misalnya Babad Giyanti) dan leluri (riwayat oral) telah berupa sebuah dalem
yang bernama Dalem Gerjiwati; lalu dinamakan ulang oleh Sunan Pakubuwana II sebagai Dalem Ayogya
Sejarah
Mataram Hindu (Abad ke-10 Masehi)
Meskipun hilang dari catatan
sejarah sejak berpindahnya pusat pemerintahan Kerajaan Medang
pada abad ke-10 ke timur, wilayah lembah di selatan Gunung Merapi
sejak abad ke-15 tetap dihuni banyak orang dan konon menjadi bagian dari
kawasan yang disebut sebagai Pengging. Dalam kronik perjalanannya, Bujangga Manik,
seorang pangeran pertapa dari Kerajaan Sunda
pernah melewati wilayah ini, tetapi tidak menyebut nama "Yogya" atau
yang bermiripan.
Mataram Islam (1575 - 1620)
Cikal-bakal kota Yogya adalah
kawasan Kotagede, sekarang menjadi salah satu kecamatan
di Kota Yogyakarta. Keraton penguasa Mataram Islam pertama, Panembahan Senapati (Sutawijaya), didirikan di
suatu babakan yang merupakan bagian dari hutan Mentaok
(alas Mentaok). Kompleks tertua keraton ini sekarang masih tersisa
sebagai bagian batu benteng, pemakaman,
dan masjid.
Setelah sempat berpindah dua kali (di keraton Pleret dan keraton Kerta,
keduanya berada di wilayah Kabupaten Bantul),
pusat pemerintahan Kesultanan Mataram beralih ke Kartasura.
Setelah Perjanjian Giyanti (1745 - 1945)
Sejarah kota memasuki babak baru menyusul
ditandatanganinya Perjanjian Giyanti antara Sunan Pakubuwono III,
Pangeran Mangkubumi (yang dinobatkan menjadi Sultan
Hamengkubuwono I, dan VOC pada
13 Februari 1755. Perjanjian ini membagi dua Mataram
menjadi Mataram Timur (yang dinamakan Surakarta) dan Mataram Barat (yang
kemudian dinamakan Ngayogyakarta)
Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan
politik baru secara resmi berdiri sejak Pangeran Mangkubumi
(Sultan Hamengkubuwono I) mengakhiri
pemberontakan yang dipimpinnya, mendapat wilayah kekuasaan separuh wilayah
Mataram yang tersisa, dan diizinkan mendirikan keraton di tempat yang dikenal
sekarang. Tanggal wisuda keraton ini, 7 Oktober 1756, kini dijadikan sebagai
hari jadi Kota Yogyakarta.
Perluasan kota Yogyakarta berjalan secara
cepat. Perkampungan-perkampungan di luar tembok keraton dinamakan menurut
kesatuan pasukan keraton, seperti Patangpuluhan, Bugisan, Mantrijeron, dan
sebagainya. Selain itu, dibangun pula kawasan untuk orang-orang berlatar
belakang non-pribumi, seperti Kotabaru untuk orang Belanda dan Pecinan untuk
orang Tionghoa. Pola pengelompokan ini merupakan hal yang umum pada abad ke-19
sampai abad ke-20, sebelum berakhirnya penjajahan. Banyak di antaranya sekarang
menjadi nama kecamatan di dalam wilayah kota.
Terdapat
situs-situs tua yang tinggal puing, khususnya yang didirikan pada masa awal
tetapi kemudian diterlantarkan karena rusak akibat gempa besar yang melanda
pada tahun 1812, seperti situs tetirahan Warungboto, yang didirikan oleh Sultan Hamengkubuwana II dan situs Taman Sari
di dalam tembok keraton yang didirikan Sultan Hamengkubuwana I. Pasar
Beringharjo sudah dikenal sebagai tempat transaksi dagang sejak keraton
berdiri, namun bangunan permanennya baru didirikan pada awal abad ke-20 (1925).Paruh kedua abad ke-19 merupakan masa pemodernan kota. Stasiun Lempuyangan pertama dibangun dan selesai 1872. Stasiun Yogyakarta (Tugu) mulai beroperasi pada tanggal 2 Mei 1887. Yogyakarta di awal abad ke-20 merupakan kota yang cukup maju, dengan jaringan listrik, jalan untuk kereta kuda dan mobil cukup panjang, serta berbagai hotel serta pusat perbelanjaan (Jalan Malioboro dan Pasar Beringharjo) telah tersedia. Perkumpulan sepak bola lokal, PSIM, didirikan pada tanggal 5 September 1929 dengan nama Perserikatan Sepak Raga Mataram.
Kondisi Geografi DIY terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa, secara geografis terletak pada 7o3’-8o12’ Lintang Selatan dan 110o00’-110o50’ Bujur Timur. Berdasarkan bentang alam, wilayah DIY dapat dikelompokkan menjadi empat satuan fisiografi, yaitu satuan fisiografi Gunungapi Merapi, satuan fisiografi Pegunungan Selatan atau Pegunungan Seribu, satuan fisiografi Pegunungan Kulon Progo, dan satuan fisiografi Dataran Rendah.
Satuan fisiografi Gunungapi Merapi, yang terbentang mulai dari kerucut gunung api hingga dataran fluvial gunung api termasuk juga bentang lahan vulkanik, meliputi Sleman, Kota Yogyakarta dan sebagian Bantul. Daerah kerucut dan lereng gunung api merupakan daerah hutan lindung sebagai kawasan resapan air daerah bawahan. Satuan bentang alam ini terletak di Sleman bagian utara. Gunung Merapi yang merupakan gunungapi aktif dengan karakteristik khusus, mempunyai daya tarik sebagai obyek penelitian, pendidikan, dan pariwisata
Dataran Pantai Parangtritis Kondisi
fisiografi tersebut membawa pengaruh terhadap persebaran penduduk, ketersediaan
prasarana dan sarana wilayah, dan kegiatan sosial ekonomi penduduk, serta
kemajuan pembangunan antar wilayah yang timpang. Daerah-daerah yang relatif
datar, seperti wilayah dataran fluvial yang meliputi Kabupaten Sleman,
Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul (khususnya di wilayah Aglomerasi
Perkotaan Yogyakarta) adalah wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi dan
memiliki kegiatan sosial ekonomi berintensitas tinggi, sehingga merupakan
wilayah yang lebih maju dan berkembang. Dua daerah aliran sungai (DAS) yang
cukup besar di DIY adalah DAS Progo di barat dan DAS Opak-Oya di timur.
Sungai-sungai yang cukup terkenal di DIY antara lain adalah Sungai Serang, Sungai Progo,
Sungai Bedog, Sungai Winongo, Sungai Boyong-Code, Sungai Gajah Wong, Sungai Opak,
dan Sungai Oya.
Gunungkidul
bagian selatan Satuan Pegunungan Selatan
atau Pegunungan Seribu, yang terletak di wilayah Gunungkidul,
merupakan kawasan perbukitan batu gamping (limestone) dan bentang alam karst
yang tandus dan kekurangan air permukaan, dengan bagian tengah merupakan
cekungan Wonosari
(Wonosari Basin) yang telah mengalami pengangkatan secara tektonik
sehingga terbentuk menjadi Plato Wonosari (dataran tinggi Wonosari).
Satuan ini merupakan bentang alam hasil proses solusional (pelarutan),
dengan bahan induk batu gamping dan mempunyai karakteristik lapisan tanah
dangkal dan vegetasi penutup sangat jarang. Satuan Pegunungan Kulon
Progo, yang
terletak di Kulon Progo bagian utara, merupakan bentang lahan struktural denudasional
dengan topografi berbukit, kemiringan lereng curam dan potensi air tanah kecil.
Satuan Dataran Rendah, merupakan bentang lahan fluvial (hasil proses
pengendapan sungai) yang didominasi oleh dataran aluvial, membentang di
bagian selatan DIY, mulai dari Kulon Progo sampai Bantul yang berbatasan dengan
Pegunungan Seribu. Satuan ini merupakan daerah yang subur. Termasuk dalam
satuan ini adalah bentang lahan marin dan eolin yang belum
didayagunakan, merupakan wilayah pantai yang terbentang dari Kulon Progo sampai
Bantul. Khusus bentang lahan marin dan eolin di Parangtritis
Bantul, yang terkenal dengan gumuk pasirnya, merupakan laboratorium alam untuk
kajian bentang alam pantai.
ESDM Sumber daya mineral atau tambang yang ada di DIY adalah Bahan Galian C yang meliputi, pasir, kerikil, batu gamping, kalsit, kaolin, dan zeolin serta breksi batu apung. Selain bahan galian Golongan C tersebut, terdapat bahan galian Golongan A yang berupa Batu Bara. Batu bara ini sangat terbatas jumlahnya, begitu pula untuk bahan galian golongan B berupa Pasir Besi (Fe), Mangan (Mn), Barit (Ba), dan Emas (Au) yang terdapat di Kabupaten Kulon Progo . Dalam bidang ketenagalistrikan, khususnya listrik, minyak dan gas di Provinsi DIY dipasok oleh PT. PLN dan PT Pertamina
Pariwisata Museum Hamengku Buwono
IX di dalam kompleks Keraton Yogyakarta, sebuah tujuan wisata
Pariwisata
merupakan sektor utama bagi DIY. Banyaknya obyek dan daya tarik wisata di DIY
telah menyerap kunjungan wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun
wisatawan nusantara. Pada 2010 tercatat kunjungan wisatawan sebanyak 1.456.980
orang, dengan rincian 152.843 dari mancanegara dan 1.304.137 orang dari
nusantara[19].
Bentuk wisata di DIY meliputi wisata MICE (Meeting, Incentive, Convention
and Exhibition), wisata budaya, wisata alam, wisata minat khusus dan
berbagai fasilitas wisata lainnya, seperti resort, hotel, dan restoran.
Tercatat ada 37 hotel berbintang dan 1.011 hotel melati di seluruh DIY pada
2010. Adapun penyelenggaraan MICE sebanyak 4.509 kali per tahun atau sekitar 12
kali per hari[20].
Keanekaragaman upacara keagamaan dan budaya dari berbagai agama serta didukung
oleh kreatifitas seni dan keramahtamahan masyarakat, membuat DIY mampu
menciptakan produk-produk budaya dan pariwisata yang menjanjikan. Pada tahun
2010 tedapat 91 desa wisata dengan 51 diantaranya yang layak dikunjungi. Tiga
desa wisata di kabupaten Sleman hancur terkena erupsi gunung Merapi sedang
14 lainnya rusak ringan [21].Secara geografis, DIY juga diuntungkan oleh jarak antara lokasi obyek wisata yang terjangkau dan mudah ditempuh. Sektor pariwisata sangat signifikan menjadi motor kegiatan perekonomian DIY yang secara umum bertumpu pada tiga sektor andalan yaitu: jasa-jasa; perdagangan, hotel dan restoran; serta pertanian. Dalam hal ini pariwisata memberi efek pengganda (multiplier effect) yang nyata bagi sektor perdagangan disebabkan meningkatnya kunjungan wisatawan. Selain itu, penyerapan tenaga kerja dan sumbangan terhadap perekonomian daerah sangat signifikan.
Kebudayaan Wujud cagar budaya yang masih dipergunakan sebagai tempat ibadah umat Hindu Indonesia DIY mempunyai beragam potensi budaya, baik budaya yang tangible (fisik) maupun yang intangible (non fisik). Potensi budaya yang tangible antara lain kawasan cagar budaya dan benda cagar budaya sedangkan potensi budaya yang intangible seperti gagasan, sistem nilai atau norma, karya seni, sistem sosial atau perilaku sosial yang ada dalam masyarakat. DIY memiliki tidak kurang dari 515 Bangunan Cagar Budaya yang tersebar di 13 Kawasan Cagar Budaya. Keberadaan aset-aset budaya peninggalan peradaban tinggi masa lampau tersebut, dengan Kraton sebagai institusi warisan adiluhung yang masih terlestari keberadaannya, merupakan embrio dan memberi spirit bagi tumbuhnya dinamika masyarakat dalam berkehidupan kebudayaan terutama dalam berseni budaya dan beradat tradisi. Selain itu, Provinsi DIY juga mempunyai 30 museum, yang dua diantaranya yaitu museum Ullen Sentalu dan museum Sonobudoyo diproyeksikan menjadi museum internasional. Pada 2010, persentase benda cagar budaya tidak bergeak dalam kategori baik sebesar 41,55%, seangkan kunjungan ke museum mencapai 6,42%
Keagamaan Penduduk DIY mayoritas beragama Islam yaitu sebesar 90,96%, selebihnya beragama Kristen, Katholik, Hindu, Budha. Sarana ibadah terus mengalami perkembangan, pada tahun 2007 terdiri dari 6214 masjid, 3413 langgar, 1877 musholla, 218 gereja, 139 kapel, 25 kuil/pura dan 24 vihara/klenteng. Jumlah pondok pesantren pada tahun 2006 sebanyak 260, dengan 260 kyai dan 2.694 ustadz serta 38.103 santri. Sedangkan jumlah madrasah baik negeri maupun swasta terdiri dari 148 madrasah ibtidaiyah, 84 madrasah tsanawiyah dan 35 madrasah aliyah. Aktivitas keagamaan juga dapat dilihat dari meningkatnya jumlah jamaah haji dari tahun ke tahun, dan pada tahun 2007 terdapat 3.064 jamaah haji.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
2. Tarian Adat
2.1
Tari Serimpi
Suatu jenis tari klasik dari daerah
Yogyakarta yang selalu dibawakan oleh 4 penari, karena kata srimpi adalah
sinonim bilangan 4. Hanya pada Srimpi Renggowati penarinya ada 5
orang. Menurut Dr. Priyono nama serimpi dikaitkan ke akar kata “impi” atau
mimpi. Menyaksikan tarian lemah gemulai sepanjang 3/4 hingga 1 jam itu
sepertinya orang dibawa ke alam lain, alam mimpi.
Menurut Kanjeng Brongtodiningrat, komposisi penari
Serimpi melambangkan empat mata angin atau empat unsur dari dunia yaitu :
1. Grama ( api)
2. Angin ( Udara)
3. Toya (air)
4. Bumi ( Tanah)
Sebagai tari klasik istana di samping bedhaya,
serimpi hidup di lingkungan istana Yogyakarta. Serimpi merupakan seni yang
adhiluhung serta dianggap pusaka Kraton. Tema yang ditampilkan pada tari
Serimpi sebenarnya sama dengan tema pada tari Bedhaya Sanga, yaitu
menggambarkan pertikaian antara dua hal yang bertentangan antara baik
dengan buruk, antara benar dan salah antara akal manusia dan nafsu
manusia.
2.2 Tari
Bedhaya Ketawang
Tari Bedhaya Ketawang adalah sebuah tari
yang amat disakralkan dan hanya digelar dalam setahun sekali. Konon di dalamnya
sang Ratu Kidul ikut menari sebagai tanda penghormatan kepada raja-raja penerus
dinasti Mataram.
Perbendaharaan beksan (tarian)
tradisi keraton Surakarta Hadiningrat terdiri dari berbagai ragam. Dilihat dari
fungsinya, tarian itu bisa dibagi dalam 3 macam. Yaitu tari yang punya sifat
magis religius, tari yang menggambarkan peperangan, dan tari yang mengandung cerita
(drama).
Masing-masing tari tercipta karena
ada sejarahnya yang dipengaruhi oleh suasana saat itu. Berbagai macam jenis
tari yang diciptakan oleh pengramu keraton bukan asal buat, melainkan dipadu
dengan masukan dari kalangan lelembut yang punya hubungan baik dengan keluarga
keraton. Sehingga ada muatan mistis dan gaib.
Tari yang punya sifat magis-religius ini, seperti Bedhaya biasanya diperagakan oleh kaum putri yang berjumlah 7 atau 9 orang, sedang yang diperagakan oleh 4 putri biasa disebut Tari Srimpi.
Tari yang punya sifat magis-religius ini, seperti Bedhaya biasanya diperagakan oleh kaum putri yang berjumlah 7 atau 9 orang, sedang yang diperagakan oleh 4 putri biasa disebut Tari Srimpi.
Asal-usul
Tari Bedhaya Ketawang
Asal mulanya tari Bedhaya Ketawang hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Dalam perkembangan selanjutnya, karena tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang amat sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang.
Berbeda dengan tarian lainnya, Bedhaya Ketawang ini semula khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta Hadiningrat. Iramanya pun terdengar lebih luruh (halus) dibanding dengan tari lainnya semisal Srimpi, dan dalam penyajiannya tanpa disertai keplok-alok (tepuk tangan dan perkataan)
Dikatakan tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya, seperti Bedhaya Gending Ketawang Ageng (Karya Penembahan Senapati) Bedhaya Gending Tejanata dan Sinom (karya PB IX) Bedhaya Pangkur (karya PB VIII), Miyanggong (karya PB IV), Duradasih (karya PB V), dan lainnya.
Siapa sebenarnya pencipta tari Bedhaya Ketawang itu sendiri sampai sekarang memang masih simpang siur.
Bedoyo Ketawang misalnya menurut Sinuhun Paku Buwono X menggambarkan lambang cinta kasihnya Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati, segala gerak melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samodera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana ( Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan) dan terjadilah Perjanjian/Sumpah Sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun temurun atau raja-raja penerus.
Satu sumber menyebutkan bahwa tari ini diciptakan oleh Penembahan Sanapati-Raja Mataram pertama-sewaktu bersemadi di Pantai Selatan. Ceritanya, dalam semadinya Penembahan Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari. Selanjutnya, penguasa laut Selatan ini mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.
Sumber lainnya menyebutkan bahwa tari
Bedhaya Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (cucu Panembahan
Senapati). Menurut Kitab Wedhapradangga yang dianggap pencipta tarian ini
adalah Sultan Agung (1613-1645), raja terbesar dari kerajaan Mataram bersama
Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut Selatan. Ceritanya, ketika Sultan Agung
sedang bersemadi, tiba-tiba mendengar alunan sebuah gending. Kemudian Sultan
Agung berinisatif menciptakan gerakan-gerakan tari yang disesuaikan dengan
alunan gending yang pernah didengar dalam alam semadinya itu. Akhirnya,
gerakan-gerakan tari itu bisa dihasilkan dengan sempurna dan kemudian dinamakan
tari Bedhaya Ketawang.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
3. Alat Musik Tradisional
3.1 Gendang
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
4. Rumah
Adat Tradisional
Bangsal Kencono
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
5.
Senjata Tradisional
5.1 Keris
Keris
adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua
sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara
bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam
lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali
bilahnya berliku-liku, dan banyak di antaranya memiliki pamor
(damascene), yaitu guratan-guratan logam cerah pada helai bilah. Jenis
senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah badik.
Senjata tikam lain asli Nusantara adalah kerambit.Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.
Penggunaan keris tersebar pada masyarakat penghuni wilayah yang pernah terpengaruh oleh Majapahit, seperti Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatera, pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan (Mindanao)
.
Keris Mindanao dikenal sebagai kalis. Keris di setiap daerah memiliki
kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta
peristilahan.
JAWA BARAT
( JABAR )
1. Suku Bangsa
Sejarah Jawa Barat Temuan arkeologi di Anyer menunjukkan
adanya budaya logam perunggu dan besi sejak sebelum milenium pertama. Gerabah
tanah liat prasejarah zaman Buni (Bekasi kuno) dapat ditemukan merentang dari
Anyer sampai Cirebon.Jawa Barat pada
abad ke-5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara] Prasasti
peninggalan Kerajaan Tarumanagara banyak tersebar
di Jawa Barat. Ada tujuh prasasti yang ditulis dalam aksara Wengi (yang
digunkan dalam masa Palawa India) dan bahasa Sansakerta yang sebagian besar
menceritakan para raja Tarumanagara Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara, kekuasaan di bagian barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Kali Serayu dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda. Salah satu prasasti dari zaman Kerajaan Sunda adalah
prasasti Kebon Kopi II yang berasal dari tahun 932. Kerajaan sunda beribukota
di Pakuan Pajajaran (sekarang kota Bogor).
Pada abad ke-16, Kesultanan Demak tumbuh
menjadi saingan ekonomi dan politik Kerajaan Sunda. Pelabuhan Cerbon (kelak
menjadi Kota
Cirebon) lepas dari Kerajaan Sunda karena pengaruh
Kesultanan Demak. Pelabuhan ini kemudian tumbuh menjadi Kesultanan
Cirebon yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda.
Pelabuhan Banten juga lepas ke tangan Kesultanan Cirebon dan kemudian tumbuh
menjadi Kesultanan
Banten. Untuk menghadapi ancaman ini, Sri
Baduga Maharaja, raja Sunda saat itu, meminta putranya, Surawisesa untuk membuat perjanjian pertahanan keamanan dengan
orang Portugis di Malaka untuk mencegah jatuhnya pelabuhan utama, yaitu Sunda Kalapa, kepada Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak. Pada
saat Surawisesa menjadi raja Sunda, dengan gelar Prabu Surawisesa
Jayaperkosa, dibuatlah perjanjian pertahanan keamanan Sunda-Portugis, yang
ditandai dengan Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal, ditandatangani dalam tahun 1512. Sebagai imbalannya,
Portugis diberi akses untuk membangun benteng dan gudang di Sunda Kalapa serta
akses untuk perdagangan di sana. Untuk merealisasikan perjanjian pertahanan
keamanan tersebut, pada tahun 1522 didirikan suatu monumen batu yang disebut padrão
di tepi Ci
Liwung.
Meskipun perjanjian pertahanan keamanan
dengan Portugis telah dibuat, pelaksanaannya tidak dapat terwujud karena pada
tahun 1527 pasukan aliansi Cirebon - Demak, dibawah pimpinan Fatahilah atau
Paletehan, menyerang dan menaklukkan pelabuhan Sunda Kalapa. Perang antara
Kerajaan Sunda dan aliansi Cirebon - Demak berlangsung lima tahun sampai
akhirnya pada tahun 1531 dibuat suatu perjanjian damai antara Prabu Surawisesa
dengan Sunan
Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon. Dari tahun 1567
sampai 1579, dibawah pimpinan Raja Mulya, alias Prabu Surya Kencana, Kerajaan
Sunda mengalami kemunduran besar dibawah tekanan Kesultanan Banten. Setelah
tahun 1576, kerajaan Sunda tidak dapat mempertahankan Pakuan Pajajaran, ibu
kota Kerajaan Sunda, dan akhirnya jatuh ke tangan Kesultanan Banten. Zaman
pemerintahan Kesultanan Banten, wilayah Priangan (Jawa Barat bagian tenggara)
jatuh ke tangan Kesultanan
Mataram.
Jawa Barat sebagai pengertian administratif
mulai digunakan pada tahun 1925 ketika Pemerintah Hindia Belanda membentuk Provinsi Jawa Barat. Pembentukan provinsi itu
sebagai pelaksanaan Bestuurshervormingwet tahun 1922, yang membagi Hindia Belanda atas kesatuan-kesatuan
daerah provinsi. Sebelum tahun 1925, digunakan istilah Soendalanden
(Tatar Soenda) atau Pasoendan, sebagai istilah geografi untuk menyebut bagian Pulau Jawa di sebelah barat Sungai Cilosari dan Citanduy yang
sebagian besar dihuni oleh penduduk yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu.
Pada 17 Agustus 1945, Jawa Barat
bergabung menjadi bagian dari Republik Indonesia. Pada tanggal 27 Desember 1949 Jawa
Barat menjadi Negara Pasundan yang merupakan salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat sebagai hasil kesepakatan tiga pihak
dalam Konferensi Meja Bundar: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal
Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations
Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB. Jawa Barat kembali
bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1950.
Makanan khas Jawa Barat : Batagor, Cireng, Comro, Misro, Tape singkong (Peuyeum), Oncom, Ubi Cilembu, Mochi, Dodol Garut, Empal Gentong, Sega Jamblang, Kecap Majalengka, Kalua Jeruk, Opak, Tahu Sumedang, Gula Cakar, Wajit, Rengginang, Combro, Gehu, Cimol, Bala-Bala, Gulali, Sele Pisang, Asinan Bogor, Tutug Oncom, Manisan Cianjur
Pendidikan Bahasa Melayu dialek Betawi Berbeda halnya dengan pendidikan bahasa cirebon, pendidikan bahasa betawi di wilayah Provinsi Jawa Barat mengalami hal yang lebih parah dari masalah yang dialami oleh bahasa cirebon, pendidikan Bahasa Betawi hingga tahun 2011 (delapan tahun setelah Perda Jawa Barat No. 5 Tahun 2003) diterbitkan sama sekali belum dilakukan di wilayah yang didiami oleh suku betawi yaitu Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, sebagian Kabupaten Bogor wilayah Utara dan sebagian wilayah Kabupaten Karawang sebelah barat, padahal penelitian tentang Bahasa Betawi telah cukup banyak dilakukan, diantaranya :
- K. Ikranegara (1980). Melayu Betawi Grammar. Linguistic Studies in Indonesian and Languages in Indonesia 9. Jakarta: NUSA.
- S. Wallace (1976). Linguistic and Social Dimensions of Phonological Variation in Jakarta Malay. PhD. Dissertation, Cornell University.
- Klarijn Loven (2009). Watching Si Doel: Television, Language and Cultural Identity in Contemporary Indonesia, 477 halaman, ISBN-10: 90-6718-279-6. Penerbit: The KITLV/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies at Leiden.
- Lilie M. Roosman (April 2006). Lilie Roosman: Phonetic experiments on the word and sentence prosody of Betawi Malay and Toba Batak, Penerbit: Universiteit Leiden.
5. Hingga tahun 2011
Pemerintah Daerah yang wilayahnya
didiami oleh Suku Betawi yaitu Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Karawang masih belum
mengadakan pendidikan bahasa daerah Bahasa Melayu dialek Betawi dan hanya
mengajarkan pendidikan bahasa daerah Bahasa Sunda.
Pendidikan Bahasa Cirebon Keberagaman budaya dan bahasa yang ada di Jawa Barat sempat diuji ketika Kongres Jawa Barat yang ketiga diadakan. Tepatnya di Kota Bandung tanggal 28 Februari 1948, pada saat tersebut salah satu perwakilan masyarakat Jawa Barat dari Suku Sunda yaitu Bapak Soeria Kartalegawa yang juga ketua Parta Rakyat Pasundan (PRP) mengusulkan agar pembicaraan dalam rapat badan perwakilan tersebut (Kongres Jawa Barat) dibolehkan menggunakan Bahasa Sunda, namun kemudian usulan tersebut segera disanggah oleh perwakilan masyarakt Jawa Barat lainnya dari Suku Cirebon yaitu bapak Soekardi, bapak Soekardi menyatakan
“Djika dibolehkan berbitjara dalam bahasa Soenda,
orang-orang yang ingin memakai bahasa daerah lainnya poen haroes diizinkan,
oempamanja bahasa daerah Tjirebon”.
|
Pengembangan Pendidikan Bahasa Cirebon Pengembangan dan Perlindungan Bahasa yang diamanatkan oleh Perda Jawa Barat No. 5 Tahun 2003 dalam kaitannya dengan pengembangan Bahasa Cirebon hanya terjadi disekitar wilayah eks-karesidenan Cirebon yaitu (Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu, sebagian wilayah Kabupaten Majalengka dan sebagian wilayah Kabupaten Kuningan) sementara wilayah kabupaten lainnya yang juga didiami oleh Suku Cirebon seperti wilayah Kabupaten Subang sebelah utara dan sebagian wilayah Kabupaten Karawang di Pesisir Timur hingga tahun 2011 (delapan tahun setelah Perda Jawa Barat No. 5 Tahun 2003) diterbitkan belum juga mendapatkan pengajaran Bahasa Cirebon, adanya ketidakmerataan pengajaran bahasa daerah di Jawa barat ini dikarenakan pemerintah memberikan hak sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah di setiap Kabupaten / Kota untuk menentukan sendiri pengajaran bahasa daerah yang ada diwilayahnya.
kesenian daerah Jawa Barat : Pencak silat, Jaipong, Gamelan, Wayang Golek, Kuda Renggong, Sisingaan, Kuda Lumping, Angklung, Tari Topeng, Tarling, Degung, Calung, Tayub, Cianjuran, Kiliningan, Tari Ketuk Tilu, Rampak Kendang, Yanuar Wita, Lagu Manuk
Dadali, Lagu Cing Cang Keling
Perekonomian
Jawa Barat selama lebih
dari tiga dekade telah mengalami perkembangan ekonomi yang pesat. Saat ini
peningkatan ekonomi modern ditandai dengan peningkatan pada sektor manufaktur
dan jasa. Disamping perkembangan sosial dan infrastruktur, sektor manufaktur
terhitung terbesar dalam memberikan kontribusinya melalui investasi, hampir
tigaperempat dari industri-industri manufaktur non minyak berpusat di sekitar
Jawa Barat.PDRB Jawa Barat pada tahun 2003 mencapai Rp.231.764 milyar (US$
27.26 Billion) menyumbang 14-15 persen dari total PDB nasional, angka tertinggi
bagi sebuah Provinsi. Bagaimanapun juga karena jumlah penduduk yang besar, PDB
per kapita Jawa Barat adalah Rp. 5.476.034 (US$644.24) termasuk minyak dan gas,
ini menggambarkan 82,4 persen dan 86,1 persen dari rata-rata nasional.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2003 adalah 4,21 persen termasuk minyak dan gas 4,91
persen termasuk minyak dan gas, lebih baik dari Indonesia secara keseluruhan.
(US$1 = Rp. 8.500,-).
Penduduk
Sebagian besar penduduk Jawa Barat adalah Suku Sunda, yang bertutur
menggunakan Bahasa
Sunda. Di beberapa kota di pesisir utara,
dituturkan bahasa Jawa dialek Cirebon, yang mirip dengan Bahasa
Banyumasan dialek Brebes. Di daerah perbatasan dengan DKI Jakarta seperti
sebagian Kota
Bekasi, Kabupaten Bekasi, Sebagian Kabupaten
Karawang dan sebagian Kota Depok, dan Kabupaten Bogor bagian utara dituturkan Bahasa Melayu
dialek Betawi. Jawa Barat merupakan wilayah berkarakteristik
kontras dengan dua identitas; masyarakat urban yang sebagian besar tinggal di
wilayah JABOTABEK (sekitar Jakarta) dan masyarakat tradisional yang hidup di
pedesaan yang tersisa.Pada tahun 2002, populasi Jawa Barat mencapai 37.548.565
jiwa,
dengan rata-rata kepadatan penduduk 1.033 jika/km persegi.Dibandingkan dengan angka pertumbuhan nasional (2,14% per tahun), Provinsi Jawa Barat menduduki peringkat terendah, dengan 2,02% per tahun. Penggunaan bahasa daerah kini mulai dipromosikan kembali. Sejumlah stasiun televisi dan radio lokal kembali menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pada beberapa acaranya, terutama berita dan talk show, misalnya Bandung TV memiliki program berita menggunakan Bahasa Sunda serta Cirebon Radio yang Menggunakan ragam Bahasa Cirebon Bagongan maupun Bebasan. Begitu pula dengan media massa cetak yang menggunakan bahasa sunda, seperti majalah Manglé dan majalah Bina Da'wah yang diterbitkan oleh Dewan Da'wah Jawa Barat.
Iklim Jawa Barat adalah tropis, dengan suhu 9 °C di Puncak Gunung Pangrango dan 34 °C di Pantai Utara, curah hujan rata-rata 2.000 mm per tahun, namun di beberapa daerah pegunungan antara 3.000 sampai 5.000 mm per tahun.
Sumber Daya Manusia: Jumlah Penduduk dan Tenaga Kerja Dengan jumlah penduduk sekitar 37 juta manusia pada tahun 2003, 16 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Pertumbuhan urbanisasi di Provinsi tumbuh sangat cepat, khususnya disekitar JABOTABEK (sekitar Jakarta). Jawa Barat memiliki tenaga pekerja berpendididkan berjumlah 15,7 juta orang pada tahun 2001 atau 18 persen dari total nasional tenaga pekerja berpendidikan. Sebagian besar bekerja pada bidang pertanian, kehutanan dan perikanan (31%), pada industri manufaktur (17%), perdagangan, hotel dan restoran (22,5%) dan sektor pelayanan (29%).
Pertanian: Lahan dan Perairan Dikenal sebagai salah satu 'lumbung padi' nasional,
hampir 23 persen dari total luas 29,3 ribu kilometer persegi dialokasikan untuk
produksi beras. Tidak dipungkiri lagi, Jawa Barat merupakan 'Rumah Produksi'
bagi ekonomi Indonesia, hasil pertanian Provinsi Jawa Barat menyumbangkan 15
persen dari nilai total pertanian Indonesia.Hasil tanaman pangan Jawa Barat
meliputi beras, kentang manis, jagung, buah-buahan dan sayuran, disamping itu
juga terdapat komoditi seperti teh, kelapa, minyak sawit, karet alam, gula,
coklat dan kopi. Perternakannya menghasilkan 120.000 ekor sapi ternak, 34% dari
total nasional
Kelautan dan Perikanan Jawa Barat berhadapan dengan dua sisi lautan Jawa pada bagian utara dan samudera Hindia di bagian selatan dengan panjang pantai sekitar 1000 km. Berdasarkan letak inilah Provinsi Jawa Barat memiliki potensi perikanan yang sangat besar. Suatu perencanaan terpadu tengah dilaksanakan untuk pengembangan Pelabuhan Cirebon, baik sebagai pelabuhan Pembantu Tanjung Priok Jakarta, maupun sebagai pelabuhan perikanan Jawa Barat yang dilengkapi dengan industri perikanan.Untuk potensi perairan darat, tidak hanya dari sejumlah sungai yang mengalir di Jawa Barat, Tetapi potensi ini juga diperoleh dari penampungan air / DAM saguling di Cirata dan DAM Jatiluhur yang selain menghasilkan tenaga listrik juga berguna untuk mengairi area pertanian dan industri perikanan air tawar.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
2. Tarian Adat Jawa Barat
2.1 Tari Topeng
Menurut pendapat salah seorang seniman dari ujung
gebang-Susukan-Cirebon, Marsita, kata topeng berasal dari kata” Taweng” yang
berarti tertutup atau menutupi. Sedangkan menurut pendapat umum, istilah kata
Topeng mengandung pengertian sebagai penutup muka / kedok.
Berdasarkan
asal katanya tersebut, maka tari Topeng pada dasarnya merupakan seni tari tradisional
masyarakat Cirebon yang secara spesifik menonjolkan penggunaan penutup muka
berupa topeng atau kedok oleh para penari pada waktu pementasannya.
Seperti
yang telah diutarakan diatas, bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam seni tari
topeng Cirebon mempunyai arti simbolik dan penuh pesan-pesan terselubung, baik
dari jumlah kedok, warna kedok, jumlah gamelan pengiring dan lain sebagainya.
Hal tersebut merupakan upaya para Wali dalam menyebarkan agama Islam dengan
menggunakann kesenian Tari Topeng setelah media Dakwah kurang mendapat Respon
dari masyarakat
Jumlah
Topeng / Kedok seluruhnya ada 9 (sembilan ) buah, yaitu : Panji, Samba atau
Pamindo, Rumyang, Tumenggung atau Patih, Kelana atau Rahwana, Pentul, Nyo atau
Semblep, Jinggananom dan Aki – aki. Dari kesembilan Topeng / Kedok tersebut
yang dijadikan sebagai Kedok pokok hanya 5 (lima ) buah yaitu : Panji, Samba
atau Pamindo, Rumyang, Tumenggung dan Kelana. Sedangkan empat kedok lainnya
hanya digunakan apabila dibuat ceruta / lakon seperti cerita Jaka Blowo, Panji
Blowo, Panji Gandrung dll.
Sejarah
Perkembangan Tari Topeng Cirebon
Sebagai hasil kebudayaan, Tari Topeng mempunyai nilai hiburan yang mengandung pesan-pesan terselubung, karena unsur-unsur yang terkandung didalamnya mempunyai arti simbolik yang bila diterjemahkan sangat menyentuh berbagai aspek kehidupan, sehingga juga mempunyai nilai pendidikan. Variasinya dapat meliputi aspek kehidupan manusia seperti kepribadian, kebijaksanaan, kepemimpinan, cinta bahkan angkara murka serta menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak dilahirkan hingga menginjak dewasa.
Dalam
hubungan itu, tidaklah mengherankan bahwa Tari Topeng Cirebon dapat dijadikan
media komunikasi untuk dimanfaatkan secara positif.
Pada masa Cirebon menjadi pusat penyebaran agama Islam, Sultan Cirebon; Syekh Syarif Hidayatulah yang juga seorang anggota Dewan Wali Sanga yang bergelar Sunan Gunung Jati, bekerja sama dengan Sunan Kalijaga memfungsikan Tari Topeng dan 6 (enam) jenis kesenian lainnya sebagai bagian dari upaya penyebaran agama Islam dan sebagai tontonan dilingkungan Keraton. Adapun Keenam kesenian tersebut adalah Wayang Kulit, Gamelan Renteng, Brai, Angklung, Reog dan Berokan.
Jauh sebelum Tari Topeng masuk ke Cirebon, Tari Topeng tumbuh dan berkembang sejak abad 10 –11 M. Pada masa pemerintahan Raja Jenggala di Jawa Timur yaitu Prabu Panji Dewa. Melalui seniman jalanan ( pengamen ) Seni Tari Topeng masuk ke Cirebon dan kemudian mengalami perpaduan dengan kesenian rakyat setempat.
Jenis-jenis
Tari Topeng Cirebon :
1.
Topeng Panji yang
menceritakan awal kehidupan manusia, sehingga topeng yang dipakai berwarna
putih bersih dan gerakannya yang lebih halus dan lembut. Bahkan hampir tidak
ada gerakan berjalan.
2.
Topeng Samba atau Pamindo
lebih leincah dalam gerakan karena lebih menampilkan kisah masa kanak-kanak.
3.
Topeng Rumiyang merupakan
tarian dengan pase manusia telah meningkat ke akhir baligh sehingga gerakan
yang lincah dan lembut berbaur menjadi satu.
4.
Topeng Patih atau Tumenggung menampilkan
sosok manusia dewasa dengan gerakan yang lebih tegas.
5.
Topeng Kelana atau Rahwana
menggambarkan tentang amarah pada diri manusia sehingga setiap gerakannya tegas
dan memerlukan tenaga lebih besar dari watak yang lainnya.
2.2 Tari Merak
Tari Merak merupakan tarian kreasi baru
dari daerah Pasundan, Jawa Barat. Tarian ini diciptakan oleh Raden Tjetjep
Somantri, seorang koreografer tari Sunda pada tahun 1950-an. Pada tahun 1965,
tarian ini kembali diperkenalkan dengan kreasi gerak baru oleh Irawati Urban,
seorang wanita pecinta seni tari yang berasal dari daerah Bandung, Jawa
Barat. Di daerah Pasundan, tari Merak seringkali dimainkan ketika
menyambut kedatangan tamu kehormatan dalam sebuah acara. Dalam sebuah pesta
pernikahan adat Sunda, Tari Merak seringkali menjadi tari menyambut kehadiran
pengantin lelaki yang hendak berjalan menuju pelaminan.
Dalam
sebuah pertunjukan, tari Merak umumnya dimainkan oleh seorang atau beberapa
orang penari wanita. Ketika pertunjukan, mereka mengenakan kostum yang penuh
warna, seperti merah, kuning, serta hijau. Konon, warna itu menggambarkan
pesona warna dari burung merak.
Untuk
menambah kesan menarik, mereka juga mengenakan selendang yang warnanya senada
dengan kostum penari. Selendang itu terikat pada pinggang penari Merak. Ketika
dibentangkan, selendang itu tampak seperti sepasang sayap dari seekor burung
Merak. Tak pernah terlewatkan, penari Merak juga menggunakan mahkota yang
berhiaskan replika kepala burung merak.
Dengan
diiringi seperangkat alat musik gamelan Sunda, pertunjukan tari Merak dimulai.
Gerakan lemah gemulai dari sang penari Merak menjadi ciri khas tersendiri dari
pertunjukan tari Merak. Sesekali, mereka menampilkan gerakan layaknya seekor
burung yang sedang melompat. Gerakan tari Merak semakin terkesan mempesona
ketika penari Merak menari sambil membentang sepasang sayap yang penuh warna.
Dari awal hingga pertunjukan itu usai, penari Merak
memainkan gerak yang menggambarkan keanggunan, keindahan serta kelincahan
seekor burung Merak. Menurut ceritanya, keseluruhan gerak dalam pertunjukan
tari Merak ini menggambarkan seekor merak jantan yang berusaha menarik hati
sang merak betina.
2.3 Tari Jaipong
Tari ini diciptakan oleh seorang seniman asal Bandung, Gugum
Gumbira, sekitar tahun 1960-an, dengan tujuan untuk menciptakan suatu jenis
musik dan tarian pergaulan yang digali dari kekayaan seni tradisi rakyat
Nusantara, khususnya Jawa Barat. Meskipun termasuk seni tari kreasi yang
relatif baru, jaipongan dikembangkan berdasarkan kesenian rakyat yang sudah
berkembang sebelumnya, seperti Ketuk Tilu, Kliningan, serta Ronggeng. Perhatian Gumbira pada
kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui
dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu.
Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam
gerak mincid dari beberapa kesenian menjadi inspirasi untuk
mengembangkan kesenian jaipongan.
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada
beberapa pengaruh yang melatarbelakangi terbentuknya tari pergaulan ini. Di
kawasan perkotaan Priangan misalnya, pada masyarakat elite, tari pergaulan
dipengaruhi dansa Ball Room dari Barat. Sementara pada kesenian rakyat,
tari pergaulan dipengaruhi tradisi lokal. Pertunjukan tari-tari pergaulan
tradisional tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng
dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk
hiburan atau cara bergaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki
daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk
Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda,
diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni
pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana,
seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula
dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum
penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas,
mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk
Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya
pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta,
Indramayu,
dan Subang)
dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa
pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk
Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup
digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil
dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih
menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak
bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya
menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari
Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah
Tayuban dan Pencak Silat.
Tarian ini mulai dikenal luas sejak 1970-an.
Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu
perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari
Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing
Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian
itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
alat musik jawa Berdasarkan cara memakainya barat dibedakan menjadi tiga
jenis diantaranya :
3.1 Alat Musik Pukul
1. Gong
Gong merupakan alat musik pengiring
alat-alat musik yang lain, terbuat dari logam kuningan dalam ukuran yang besar,
bahkan ada yang garis tawangnya melebihi 1 meter. Hal ini dimaksudkan agar gong
dapat mengeluarkan bunyi yang lebih bass, lebih keras dan gaungnya lebih lama
(panjang), sehingga gong dapat didengar dari jarak yang relatif jauh. Gong
dimainkan dengan cara dipukul memakai kayu atau alat khusus yang dibuat untuk
itu. Gong dipakai pada bersama-sama dengan alat musik lain dan sebagai alat
pelengkap pada jenis musik yang lain.
2. Bonang
Bonang adalah alat musik yang digunakan dalam gamelan Jawa. bonang juga merupakan instrumen melodi terkemuka di Degung Gamelan Sunda. Ini adalah koleksi gong kecil (kadang-kadang disebut “ceret” atau “pot”) ditempatkan secara horizontal ke string dalam bingkai kayu (rancak), baik satu atau dua baris lebar. Semua ceret memiliki bos pusat, tetapi di sekelilingnya yang bernada rendah memiliki kepala datar, sedangkan yang lebih tinggi memiliki melengkung satu. Masing-masing sesuai untuk lapangan tertentu dalam skala yang sesuai; sehingga ada yang berbeda untuk bonang pelog dan slendro. Mereka biasanya dipukul dengan tongkat berlapis (tabuh). Hal ini mirip dengan gong memeluk lain di gamelan itu, kethuk, kempyang, dan kenong. Bonang dapat dibuat dari perunggu dipalsukan, dilas dan dingin-dipalu besi, atau kombinasi dari logam. Selain bentuk gong-berbentuk ceret, bonang ekonomis terbuat dari besi dipalu atau kuningan pelat dengan mengangkat bos sering ditemukan di desa gamelan, dalam gamelan Suriname-gaya, dan di beberapa gamelan Amerika. Bonang ini mirip dengan reong Bali.
Dalam gamelan Jawa Tengah ada tiga jenis bonang yang digunakan:
· Panerus Bonang adalah yang tertinggi dari mereka, dan menggunakan ketel terkecil. Pada umumnya mencakup dua oktaf (kadang-kadang lebih dalam slendro pada instrumen Solo-gaya), seluas sekitar kisaran yang sama dengan saron dan peking gabungan. Ia memainkan irama tercepat bonang itu, saling layu dengan atau bermain di dua kali kecepatan dari bonang barung.
· Barung Bonang adalah bernada satu oktaf di bawah bonang panerus, dan juga secara umum mencakup dua oktaf, kira-kira kelas yang sama dengan demung dan saron gabungan. Ini adalah salah satu instrumen yang paling penting dalam ansambel tersebut, karena banyak memberikan isyarat untuk pemain lain dalam gamelan.
· Panembung Bonang adalah nada terendah. Hal ini lebih sering terjadi pada gamelan gaya Yogyakarta, seluas sekitar kisaran yang sama dengan slenthem dan demung gabungan. Ketika hadir dalam gamelan Solo-gaya, mungkin hanya memiliki satu baris dari enam (slendro) atau tujuh ceret terdengar dalam daftar yang sama seperti slenthem tersebut. Hal ini dicadangkan untuk repertoire yang paling keras, biasanya memainkan balungan lain dari itu.
Bagian yang dimainkan oleh bonang barung dan bonang panerus lebih kompleks dibandingkan dengan banyak instrumen gamelan, sehingga, secara umum dianggap sebagai instrumen mengelaborasi. Kadang-kadang memainkan melodi berdasarkan balungan, meskipun umumnya diubah dengan cara yang sederhana. Namun, juga bisa memainkan pola yang lebih kompleks, yang diperoleh dengan menggabungkan patters barung dan panerus, seperti saling silih bergantinya bagian (imbal) dan interpolasi pola melodi jerau (Sekaran).
Penoon-penoon bonang ditata berjajar dalam dua baris. Baris di atas disebut Jaleran atau Brunjung, sedangkan yang bawah disebut setren atau dhempok.
3.
Gendang
Gendangadalah alat bunyian yang
diperbuat daripada kulit binatang seperti kerbau, kambing atau lembu. Ia
merupakan salah sebuah alat muzik dalam keluarga genderang. Siter dan celempung
Siter dan celempung adalah alat musik petik di dalam gamelan Jawa. Ada
hubungannya juga dengan kecapi di gamelan Sunda.
3.2 Alat Musik Tiup
1 . suling
Suling
adalah alat musik dari keluarga alat musik tiup kayu. Suara suling berciri
lembut dan dapat dipadukan dengan alat musik lainnya dengan baik.
Suling modern untuk para ahli umumnya terbuat dari perak, emas atau campuran keduanya. Sedangkan suling untuk pelajar umumnya terbuat dari nikel-perak, atau logam yang dilapisi perak Suling Bambu
Suling modern untuk para ahli umumnya terbuat dari perak, emas atau campuran keduanya. Sedangkan suling untuk pelajar umumnya terbuat dari nikel-perak, atau logam yang dilapisi perak Suling Bambu
Menurut sejarah, telah berusia 14 abad (telah ada sejak jaman Pra Hindu, sebelum
th. 600 M, berdasarkan relief candi di Jawa),Asli Indonesia ,Suara lebih khas , Bisa dibuat sendiri dengan mudah ,Ramah lingkungan , Tersedianya bahan baku asli dari alam(pohon bambu) yang melimpah,
3.3
Alat Musik Getar
1. Angklung
Angklung
adalah alat musik
multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat
berbahasa Sunda di
Pulau Jawa
bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara
digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga
menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam
setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung
sebagai musik tradisi Sunda
kebanyakan adalah salendro
dan pelog.
Tidak
ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya
telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai
awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme
dalam kebudayaan Nusantara. Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada
masa Kerajaan
Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16).
Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup
masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai
makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan
(hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda
asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari
400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan
dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.[rujukan?]
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana. Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.
3.4 Alat Musik Petik
1. kecapi
Kacapi merupakan alat musik petik
yang berasal dari Jawa Barat, biasa digunakan sebagai pengiring suling sunda
atau dalam musik lengkap, sampai saat ini masih terus
dilestarikan dan dijadikan kekayaan
seni Sunda yang sangat bernilai bagi masyarakat asli Jawa Barat.
Membutuhkan latihan khusus untuk dapat memainkan alat musik ini dengan penuh penghayatan, tak jarang latihan dilakukan di alam terbuka agar dapat menyatukan rasa dan jiwa sang pemetik Kacapi, lebih dari itu semua suara yang dihasilkan dari alat musik ini akan menenangkan jiwa para pendengarnya, dan mampu membawa suasana alam Pasundan di tengah-tengah pendengar yang mulai terhanyut dengan buaian nada-nada yang indah dari Kacapi.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
4. Rumah
Adat Tradisional
4.1 Capit
Gunting
Yaitu bentuk bangunan rumah yang atap (suhunan)
bagian ujung belakang atas dan depan atas menggunakan kayu atau bambu yang
bentuknya menyilang dibagian atasnya seperti gunting.
4.2
Badal Heuay
Yaitu bentuk bangunan seperti saung tidak memakai
wuwung sambungan atap (hateup) depan dengan belakang seperti badak
sedang membuka mulutnya (menguap, arti sunda heuay).
4.3 Tagog Anjing
yaitu bentuk bangunan mirip dengan bentuk badak
heuay, tetapi ada sambungan kebagian depan dan sedikit turun. Jadi bangunannya
tekuk (ngeluk) seperti anjng jongkok.
4.4 Julang Ngapang
Yaitu bentuk bangunan rumah yang suhunan
bagian sisi kiri kanan agak melebar ke samping. Ada juga yang menyebutnya
memakai sorondoy. Apabila di lihat dari arah depan seperti burung yang
sedang terbang.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
5.
Senjata Tradisional
5.1 Kujang
Kujang
adalah pusaka tradisi Sunda, sejarah yang menceritakan awal keberadaannya masih
belum terungkap. Kalau saja Kerajaan Salakanagara yang merupakan kerajaan
tertua di Jawa sebagai cikal bakal lahirnya kujang, diyakini keberadaan kujang
sudah sangat tua. Alasan tersebut diperkuat bahwa apabila kujang yang
diperkirakan sebagai alat perladangan atau pertanian maka Kerajaan Tarumanegara
pada abad IV sudah mampu menata sistem pertanian secara baik dengan dibangunnya
sistem irigasi untuk perladangan dan pertanian, mungkin kujang sudah hadir
dalam konteks perkakas perladangan atau perkakas pertanian dalam pranata sosial
budaya masyarakat pada saat itu. Kujang diakui keberadaannya sebagai senjata
khas masyarakat etnis Sunda. Kujang merupakan warisan budaya Sunda pramodern.
Kujang merupakan senjata, ajimat, perkakas, atau benda multifungsi lainnya yang memiliki berbagai ragam bentuk yang menarik secara visual. Kujang dengan keragaman bentuk gaya dengan variasi-variasi struktur papatuk, waruga, mata, siih, pamor, dan sebagainya sangat artistik dan menarik untuk dicermati karena struktur bentuk tersebut belum tentu ada dalam senjata lainnya di nusantara. Kujang sebagai senjata yang memiliki keunggulan visual tadi sekaligus mengundang pertanyaan apakah dalam struktur estetik kujang tadi memiliki makna dan simbol? Berbagai pendapat dari berbagai tokoh masyarakat mengarah ke sana.
Kujang koleksi Sumedang
Kujang merupakan senjata, ajimat, perkakas, atau benda multifungsi lainnya yang memiliki berbagai ragam bentuk yang menarik secara visual. Kujang dengan keragaman bentuk gaya dengan variasi-variasi struktur papatuk, waruga, mata, siih, pamor, dan sebagainya sangat artistik dan menarik untuk dicermati karena struktur bentuk tersebut belum tentu ada dalam senjata lainnya di nusantara. Kujang sebagai senjata yang memiliki keunggulan visual tadi sekaligus mengundang pertanyaan apakah dalam struktur estetik kujang tadi memiliki makna dan simbol? Berbagai pendapat dari berbagai tokoh masyarakat mengarah ke sana.
Kujang koleksi Sumedang
KALIMANTAN TIMUR
( KALTIM )
1.
Suku bangsa
Kerajaan ini menguasai wilayah yang luas di daerah Kalimantan Timur (bila ditinjau sekarang meliputi Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat, Kota Samarinda, Kota Balikpapan, Kota Bontang, dan sebagian kecil dari Kabupaten Paser dan Kabupaten Penajam Pasir Utara), dimana setiap rajanya dan juga keturunannya bergelar Aji, dan gelar ini terus disandang oleh setiap keturunannya hingga sekarang. Tetapi karena Kutai merupakan suku yang mendiami daerah kota dan pesisir maka pada masa kini telah terjadi proses asimilasi dengan suku-suku pendatang sehingga sudah mulai kehilangan ciri khasnya, berbeda dengan Suku Dayak yang sampai dengan sekarang masih memiliki ke khasan Kalimantan dalam setiap aspek kehidupan mereka (tarian, bahasa, bertanam, berburu, dll).
Suku pribumi terbagi menjadi dua kelompok suku (menurut lingkungan hukum adatnya):
Kelompok Hukum Adat Melayu
- Rumpun Banjar (Haloq):
- Suku Kutai : Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat
- Suku Banjar : Balikpapan, Samarinda
- Suku Berau : Berau
- Rumpun Bangsamoro
- Rumpun Ot Danum (d/h Rumpun Dusun Lawangan)
- Suku Paser : Paser, Penajam Paser Utara
- Suku Tunjung : Kutai Barat
- Suku Benuaq : Kutai Barat
- Suku Bentian : Kutai Barat
- Suku Bukat : Kutai Barat
- Suku Busang : Kutai Barat
- Suku Ohong : Kutai Barat
- Suku Penihing : Kutai Barat
- Suku Punan : Kutai Barat
- Suku Modang : Kutai Timur
- Suku Basap : Bontang
- Suku Ahe : Berau
- Suku Punan Sului
- Suku Punan Beketan
- Suku Punan Murut
- Suku Badeng
- Suku Bakung Metulang
- Suku Merab
- Suku Wehea : Muara Wahau, Kutai Timur
- Suku Kenyah : Malinau, rumpun Apo Kayan
- Suku Kayan : Kutai Barat, rumpun Apo Kayan
- Suku Bahau : Kutai Barat, rumpun Apo Kayan
- Suku Kenyah Umaq Tau
- Suku Kenyah Umaq Jalan
- Suku Umaq Alim
- Suku Umaq Baqa
- Suku Umaq Lasan
- Suku Lapo Kulit
- Suku Lapo Bakung
- Suku Lapo Timai
- Suku Lapo Tukung
- Suku Lapo Bem
- Suku Lapo Ke
- Suku Lapo Ngibun
- Suku Lapo Maut
- Suku Saq
- Suku Huang Tering
- Suku Seputan
- Suku Long Gelat
- Suku Long Paka
- Suku Touk
- Rumpun Murut (d/h Rumpun Tidung)
- Suku Tidung : Tarakan-Tana Tidung-Malinau-Nunukan-Bulungan
- Suku Bulungan : Bulungan
- Suku Tagol : Malinau
- Suku Berusu : Malinau
- Suku Lundayeh : Malinau
- Suku Tingalan : Tana Tidung
- Suku Abai : Tana Tidung
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.